Jumat, 25 Januari 2013

DESKRIPTIF GELANDANG DAN PENGEMIS DI DINAS SOSIAL KAB.SIDOARJO




DESKRIPTIF TENTANG GELANDANG DAN PENGEMIS
DI DINAS SOSIAL KABUPATEN SIDOARJO



http://3.bp.blogspot.com/-5p8iQd2y6-g/UQCe02_HaFI/AAAAAAAAAG4/U7qNGRUoK_c/s1600/u.jpeg




Oleh :
Pawestri Nur Hapsari (112020100008)
Mhs. Jurusan Administrasi Negara - FISIP (Pagi), Umsida
Dosen Pengampuh : Drs. Hadi Ismanto, M.Si.




PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SIDOARJO
2013




BAB I
PENDAHULUAN

1.A. Latar Belakang
Sampai saat ini, Indonesia masih tergolong Negara yang sedang maju  dan belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Dari beberapa banyak masalah sosial yang ada sampai saat ini, gelandangan dan pengemis adalah masalah yang perlu harus di perhatikan lebih dari pemerintah, karena saat ini masalah tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan kota-kota besar, terutama seperti Kabupaten Sidoarjo.
Berdasarkan data statistik pemerintahan Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa sekitar 4,2 juta KK penduduk Jawa Timur, hidup dibawah garis kemiskinan. Dengan demikian diperkirakan sekitar 15 juta orang atau 35 % penduduk Jawa Timur, dikategorikan sebagai penduduk miskin. Sementara ada sekitar 400 orang gelandangan dan pengemis (gepeng) di Dinas Sosial Sidoarjo. Keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) di kabupaten Sidoarjo saat ini semakin banyak dan sulit diatur, Mereka dapat ditemui diberbagai pertigaan, perempatan, lampu merah dan tempat umum, bahkan di kawasan pemukiman, sebagian besar dari mereka menjadikan mengemis sebagai profesi. Hal ini tentu sangat mengganggu pemandangan dan meresahkan masyarakat. Penyebab dari semua itu antara lain adalah jumlah pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang memadai dan kesempatan kerja yang tidak selalu sama. Disamping itu menyempitnya lahan pertanian di desa karena banyak digunakan untuk pembangunan pemukiman dan perusahaan atau pabrik. Keadaan ini mendorong penduduk desa untuk berurbanisasi dengan maksud untuk merubah nasib, tapi sayangnya, mereka tidak membekali diri dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai. Sehingga keadaan ini akan menambah tenaga yang tidak produktif dikota. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka bekerja apa saja asalkan mendapatkan uang termasuk meminta-minta (mengemis). Demi untuk menekan biaya pengeluaran, mereka memanfaatkan kolong jembatan, stasiun kereta api, emperan toko, pemukiman kumuh dan lain sebagainya untuk beristirahat, mereka tinggal tanpa memperdulikan norma sosial. Hidup bergelandangan tidak memungkinkan orang hidup berkeluarga, tidak memiliki kebebasan pribadi, tidak memberi perlindungan terhadap hawa panas ataupun hujan dan hawa dingin, hidup bergelandangan akan dianggap hidup yang paling hina diperkotaan. Keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) di perkotaan sangat meresahkan masyarakat, selain mengganggu aktifitas masyarakat di jalan raya, mereka juga merusak keindahan kota. Dan tidak sedikit kasus kriminal yang dilakukan oleh mereka, seperti mencopet bahkan mencuri dan lain-lain.
Oleh sebab itulah, apabila masalah gelandangan dan pengemis tidak segera mendapatkan penanganan, maka dampaknya akan merugikan diri sendiri, keluarga, masyarakat serta lingkungan sekitarnya.
Untuk mengatasi masalah gelandangan dan pengemis (gepeng), pemerintah mengutus Polisi Pamong Praja Satpol PP untuk merazia semua gelandangan dan pengemis (gepeng) yang ada diseluruh sudut kota Sidoarjo, untuk  kemudian dijaring dan diberikan pengarahan. Hal ini bertujuan untuk membersihkan kota dari gelandangan dan pengemis, serta berupaya untuk memberikan penyadaran kepada mereka.
1.B. Rumusan Masalah
Dari yang saya ceritakan diatas, maka saya membuat beberapa rumusan masalah yang menjadi obyek pembahasan dalam tugas ini, yaitu :
1.      Bagaimana proses penanganan gelandangan dan pengemis (Gepeng) yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo?
2.      Apa saja faktor yang mempengaruhi pendorong dan penghambat penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo?

1.C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui proses penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo.
2.      Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat proses penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo.
3.      Untuk mengetahui relevansi penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo.




1.D. Manfaat Penelitian
Merujuk pada tujuan penelitian diatas, maka manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.       Bagi Pemerintah Kota Sidoarjo sebagai masukan untuk lebih dalam menangani  gelandang dan pengemis di sidoarjo.
2.       Bagi peneliti yang lain agar dapat digunakan dalam melanjutkan penelitian tentang
Deskriptif gelandang dan pengemis
3.       Bagi penulis, peneliti ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kerangka Dasar Teori
Realitas kehidupan sosial tidak luput dengan prilaku dan pola dari masyarakat itu sendiri. Salah satunya adalah pengemis atau sebagian orang menyebutnya dengan “Gepeng” Gelandangan dan Pengemis, potret sosial ini sering ditemukan dalam kehidupan. Adapun pengertian pengemis menurut Perpu No. 30 Tahun 1980 yang dikutip dalam buku Engkus Kuswarno, menyatakan :
“Orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain”.
Berbeda dengan istilah pengemis dalamhandout nya yang diartikan oleh Dinas Sosial adalah PMKS (Penyandang masalah kesejahteraan sosial).
“Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan minta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang”
Dari pengertian diatas, selanjutnya bisa dilihat dari kelompok-kelompok pengemis yang membedakan satu sama lain diantara pengemis yang ada.

 Kelompok Pengemis
Dalam hal ini pengemis pun memiliki kelompok-kelompok yang membedakan motif-motif pengemis satu sama lain, Menurut Sudarianto dalam catatan online nya dimana pengemis dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok pengemis, antara lain :
1.Mengemis karena tak mampu bekerja, Pada kategori ini dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kelainan fisik pada anggota tubuhnya. Misalnya tak mampu bekerja karena tidak memiliki tangan, kaki, lumpuh, buta dan lain-lain
2.Mengemis karena malas bekerja, Pengemis karena malas bekerja inilah yang menyebabkan jumlah pegemis di Indonesia sangat banyak. Pengemis pada kategori ini, orangnya mempunyai anggota tubuh yang sangat lengkap namun dihinggapi penyakit malas. Pengemis semacam inilah yang harus diberantas oleh pemerintah.
3.Mengemis karena menginginkan jabatan,Pengemis semacam inilah yang merusak atau menghambat pembangunan di Indonesia. Mereka yang tergolong pada kelompok ini mengemis pada atasannya dengan berbagai cara untuk memperoleh job atau jabatan. Ada yang selalu bersilaturrahmi ke rumah atasannya, ada yang selalu memberikan hadiah kepada atasannya, ada juga yang gila hormat kepada atasannya, dan lain sebagainya.
Adapun menurut Hanitijo Soemitro dalam karya ilmiah Asmawi, pengemis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
1.Pengemis Murni, Ialah mereka yang mempunyai tempat tinggal tertentu maupun tidak, yang penghidupan seluruhnya atas dasar meminta-minta pada waktu tertentu.
2.Pengemis Tidak Murni, Ialah mereka yang mempunyai tempat tinggal yang sebagian penghasilannya diperoleh dari meminta-minta pada waktu tertentu. (Asmawi, 2003:15)
Fakta sosial yang satu ini merupakan akibat dari sebabnya seseorang melakukan suatu tindakan, namun penyebab tersebut bisa mengkategorikan hal ini.
Konseptualisasi Penelitian
Agar penelitian ini terarah sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang diterapkan, maka perlu terlebih dahulu disusun konsep pemikiran dalam melaksanakan penelitian ini. Penelitian ini menganalisis tentang banyaknya jumlah gelandang dan pengemis di Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo dimana sasaran akhir dari program adalah meningkatkan partisipasi dari orang lain yang mau mengeluarkan dana untuk membantu biaya hidup mereka.
Dalam Konsep penelitian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Variabel Bebas/Independen/yg mempengaruhi (variabel X) :
-          Deskriptif tentang gelandang dan pengemis
Variabel Tidak Bebas/Dependen/yg dipengaruhi (variabel Y)
-          Di Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo

Hipotesis
Penelitian ini menggunakan hipotesis asosiatif yakni hipotesis yang terdiri dari hipotesis dua arah yaitu Hipotesis kerja yang menegaskan variabel (Hi) dan hipotesis nihil yang menegasikan variabel (Ho)
Hi  : Apa saja faktor yang mempengaruhi pendorong dan penghambat penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo?
 Ho : Tidak ada faktor yang mempengaruhi pendorong dan penghambat penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo




BAB III
METODE PENELITIAN


·         Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif  karena mencari data berupa angka atau dalam bentuk kuantitas, mencari data sesuai dengan konsep yang sudah ada dan Penelitian dapat dilakukan oleh orang lain (field works)
·         Subyek Penelitian
Subyek yang dimaksud dalam penelitian ini adalah para informan yang ditentukan peneliti berdasarkan teknik purposive, yaitu Penentuan sampel dilakukan dengan tujuan untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk mencari sumber data yang mantap dan lengkap.
·         Lokasi
Lokasi penelitian ini adalah  Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Jl. Pahlawan No.8 – Sidoarjo.
·         Jenis Data
Data sekunder, yakni sumber data yang diperoleh dari bahan bacaan atau referensi yang menunjang dalam penelitian ini. Data sekunder ini berupa buku – buku, foto, dokumentasi program, serta jurnal-jurnal yang berhubungan dengan Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo.

·         Populasi dan Teknik Sampling Penelitian
Populasi Penelitian
Populasi adalah jumlah keseluruhan analisa yang hendak digeneralisasikan oleh seorang peneliti (Sutrisno Hadi, 1993:70). Populasi penelitian ini adalah seluruh jumlah gelandang dan pengemis di Kabupaten Sidoarjo yakni berjumlah 400.
Teknik Sampling Penelitian
Sampel adalah sebagian dari populasi/populasi dari unit analisis maupun area, yang dianggap mewakili populasi secara keseluruhan. Tidak ada ukuran pasti tentang besaran sampel yang dianggap mewakili populasi namun perlu diperhatikan tingkat heterogenitas populasi dan kepentingan unit analisis statistik.
1.      Unit Analisis, merupakan unit yang akan diteliti/dianalisa dalam melakukan sebuah penelitian. Seringkali unit penelitian sama dengan unsur sampling yang akan diteliti. Dalam penelitian ini unit analisisnya adalah para gelandang dan pengemis di Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo
2.      Sampling Frame, merupakan seluruh daftar nama individu/organisasi yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini yaitu nama gelandang dan pengemis yang menjadi sampel penelitian.
3.      Sampling Fraction, merupakan pemecahan unsur sebagian sampel menjadi lebih kecil, sehingga masing-masing bagian diwakili oleh beberapa orang. Pemecahan dilakukan untuk mempermudah dalam menentukan ukuran sampel yang akan diambil untuk penelitian.
·         Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1.      Kuesioner, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan membagikan daftar pertanyaan kepada responden untuk dijawab dengan cermat dan teliti. Inilah yang dijadikan sebagai instrumen penelitian.
2.      Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tanya jawab langsung dari responden.
3.      Observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan langsung terhadap obyek penelitian.



·         Teknik Analisis Data
            Data yang telah terkumpul dan diolah, kemudian dianalisis dalam rangka proses pengujian hipotesis yang telah dirumuskan. Analisa data dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1.      Analisa Data Kuantitatif, yaitu analisis data yang berjumlah besar dan sudah diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, hal ini dilakukan guna mengetahui kecenderungan antara variabel yang diteliti.
2.      Analisa Data Kualitatif, yaitu teknik telaah untuk menyimpulkan data yang bersifat kualitatif, dipergunakan untuk data-data yang sulit diukur dengan angka, yaitu apabila data yang dikumpulkan sedikit, hanya berupa kasus-kasus sehingga dengan analisis tersebut dapat memberikan penafsiran yang baik.



BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berikut ini adalah data jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang berada di Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo tahun 2012 :

Penderita
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Gepeng
100
62
162
Lansia
4
11
15
Anjal
20
-
20
Psikotik
90
65
155
WTS/waria
20
28
48
Jumlah
234
166
400

Pengertian Pekerjaan Sosial (Sosial Worker)
Pekerjaan sosial sebagai profesi masih dapat dikatakan sebagai profesi yang baru muncul pada awal abad ke-20, meskipun demikian, ia mempunyai akar sejak timbulnya revolusi industri. Berbeda dengan profesi lain yang mengembangkan spesialisasi untuk mencapai kematangannya, maka pekerjaan sosial lebih berusaha untuk menyatukan berbagai bidang ilmu ataupun spesialisasi dari berbagai lapangan praktek.
Menurut International Federation Of Social Worker (ISFM), pekerjaan sosial (social worker) adalah sebuah profesi yang mendorong perubahan sosial, memecahkan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan, memberdayakan, dan membebaskan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Pekerjaan sosial adalah aktivitas professional, untuk menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut.
Menurut Thelma Lee Mendoza, pekerjaan sosial merupakan profesi yang memperhatikan penyesuaian antara individu dengan lingkungannya, dan individu (kelompok) dalam hubungan dengan situasi (kondisi) sosialnya. Pandangan ini mengacu pada konsep “fungsi sosial” yang terkait dengan kinerja (performance) dari berbagai peranan sosial yang ada pada masyarakat.
Menurut Leonora Scrafica-deGuzman Pekerjaan sosial adalah profesi yang bidang utamanya berkecimpung dalam kegiatan pelayanan sosial yang terorganisasi, dimana tujuannya untuk memfasilitasi dan memperkuat relasi dalam penyesuaian diri secara timbal balik dan saling menguntungkan antar individu dengan lingkungan sosialnya, melalui penggunaan metode-metode sosial.
Tan dan Envall mendefinisikan Pekerjaan sosial sebagai berikut “profesi pekerjaan sosial mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan, perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta perbaikan masyarakat. Menggunakan teori-teori perilaku manusia dan sistem-sistem sosial, pekerjaan sosial melakukan intervensi pada titik (atau situasi) dimana orang berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak azasi manusia dan keadilan sosial sangat penting bagi pekerjaan sosial.
Dari pandangan di atas, permaslahan dalam bidang pekerjaan sosial, erat kaitannya dengan masalah fungsi sosial (social functioning), yaitu kemampuan seseorang untuk menjalankan peranannya sesuai tuntutan lingkungannya. Oleh karena itu usaha-usaha untuk memberikan pelayanan sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung, juga diarahkan untuk membantu individu, kelompok ataupun masyarakat dalam menjalankan fungsi sosialnya. Menurut Thelma Lee Mendoza, secara umum, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya :
1.      Personal inadequancies or sometimes phatologies which may make it difficult for man to cope with the demands of his environment. (ketidakmampuan individu atau kadangkala patologiyang membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan lingkungannya).
2.      Situational inadequancies and other conditions which are beyond man’s coping capacities,and. (ketidakmampuan situasional (lingkungan) dan kondisi lainnya yang berada dibawah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri).
3.      Both personal and situasional inadequacies. (ketidakmampuan/ ketidaklengkapan dari kedua faktor personal dan situasional).
Dan untuk mengatasi masalah-masalah dalam fungsi sosial, maka intervensi yang dapat dilakukan adalah :
1.      Intervention primarily through person, which involves activities aimed at increasing man’s capacities to cope with or adjust to his reality situation (such as by changing his attitudes and teaching him skills). (intervensi yang utama dilakukan melalui individu, dimana melibatkan kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada peningkatan kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan situasi realitanya (seperti melalui perubahan sikap dan mengajarkan keterampilan pada orang tersebut).
2.      Intervention primarily through his situation which involves activities aimed at modifying the nature of the reality itself so as to bring it within the range of man’s functional capacities (such as by minimizing or preventing the causes of stress, by providing necessary services and facilities). (intervensi yang utama dilakukan melalui situasi lingkungannya, dimana meliputi kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada pemodifikasian sifat-sifat dasarndan realita itu sendiri agar dapat masuk kedalam rentangan kemampuan berfungsi orang tersebut(seperti melalui peminimalisiran atau pencegahan penyebab timbulnya stress, melalui penyediaan pelayanan dan fasilitas yang diperlukan).
3.      Intervention through both the person and his situation. (intervensi yang dilakukan melalui individu dan juga melalui situasi lingkungannya). Sebagai aktivitas pertolongan (helping profession), pekerjaan sosial bermaksud untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi pada individu, keluarga, kelompok, ataupun masyarakat. Layaknya dokter atau guru, sebagai aktivitas yang professional, pekerjaan sosial didasari atas tiga kompetensi penting, yakni kerangka pengetahuan (body of knowledge), kerangka keahlian ( body of skill), dan kerangka nilai (body of value). Secara integratif, ketiganya menjadi dasar penting dalam praktik ilmu pekerjaan sosial.
Dari definisi diatas, dapat dilihat bahwa pekerjaan sosial adalah disiplin ilmu yang berkepentingan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, yang dihadapi umat manusia, artinya, secara operasional pekerjaan sosial pada dasarnya sangat dekat dengan kehidupan setiap masyarakat. Walaupun demikian, perlu diakui bahwa secara definitive, pekerjaan sosial relative kurang dikenal dalam masyarakat Indonesia. Bila dilihat secara definitif, pengertian pekerjaan sosial yang dikemukakan oleh United States Council on Social Work Education. Lebih melihat pekerjaan sosial sebagai profesi yang banyak berfokus pada fungsi sosial individu, ataupun kelompok, terutama dalam kaitan dengan relasi sosial yang membentuk interaksi antara manusia dengan lingkungannya, aktivitas ini menurut Skidmore, dapat dikelompokkan kedalam tiga fungsi:
1.      Perbaikan (restorasi), kapasitas yang dimiliki klien (fungsi rehabilitative dan kuratif). Aspek kuratif dalam pekerjaan sosial berusaha mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor  yang menjadi penyebab kurang berfungsinya seseorang. Aspek rehabilitative dalam pekerjaan sosial mencoba membina kembali pola-pola interaksi.
2.      Penyediaan sumber daya individu atau masyarakat (fungsi developmental), fungsi developmebtal ini bertujuan untuk memanfaatkan secara maksimum kemampuan dan potensi agar interaksi sosialnya lebih efektif.
3.      Pencegahan disfungsi sosial (fingsi preventif). Fungsi ini melibatkan penemuan, pengawasan, dan menghilangkan atau mengurangi kondisi atau situasi yang mempunyai potensi untuk merusak fungsi sosial seseorang.

Tujuan Pekerjaan Sosial
Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh The National Assosiation Of Social Workers (NASW), pekerjaan sosial mempunyai empat tujuan utama, akan tetapi The Council on Social Work Education menambah dua tujuan pekerjaan sosial, sehingga menjadi enam poin penting, antara lain :
1.      Meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya, menanggulangi dan secara efektif dapat menjalankan fungsi sosialnya. Seseorang yang sedang mengalami masalah, sering kali tidak memilikikesadaran bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Pekerja sosial berperan dalam mengidentifikasi kekuatan klien dan mendorongnya untuk dapat melakukan perubahan pada kehidupannya.kesadaran tentang kekuatan yang ada pada diri klien inilah yang menimbulkan suatu nilai terkenal yang dijunjung tinggi dalam pekerjaan sosial, yakni self determination (keputusan oleh diri sendiri). Pekerja sosial dalam konteks ini dapat berperan sebagai konselor, pendidik, penyedia layanan, atau perubah perilaku.
2.      Menghubungkan klien dengan jaringan sumber yang dibutuhkan. Ibarat memancing, dalam konteks memberdayakan masyarakat, jika dulu cukup memberikan kailnya saja. Dengan memberikan pelatihan skill tertentu (misalnya kewirausahaan) kepada rakyat miskin, mungkin sudah cukup menyelesaikan problem kemiskinan. Namun, kail saja kini rasanya tidak cukup. Sebab, bagaimana mungkin bisa memancing padahal “kolam” nya saja sudah tidak tersedia, atau klien merasa kebingungan di “kolam” mana mungkin dia akan melemparkan kailnya. Dalam hal ini pekerjaan sosial berfungsi strategis dalam advokasi sosial maupun menghubungkan klien kepada jaringan-jaringan sumber yang dibutuhkan seorang klien, untuk dapat berkembang dan mencapai tujuan kehidupannya. Menjadi broker atau pialang sosial adalah suatu peran strategis, yang dapat dimainkan oleh pekerja sosial untuk mencapai tujuan ini.
3.      Meningkatkan kinerja lembaga-lembaga sosial dalam pelayanannya, agar berjalan secara efektif. Pekerja sosial berperan dalam menjamin agar lembaga-lembaga sosial dapat memberikan pelayanan terhadap klien secara merata dan efektif. Langkah ini dilakukan karena lembaga-lembaga sosial dianggap sebagai salah satu peranti untuk mencapai tujuan-tujuan dari disiplin ilmu pekerjaan sosial. Peran-peran yang dapat dilakukan pekerja sosial antara lain, pengembang program, supervisor, koordinator ataupun konsultan. Sebagai pengenbang program, pekerja sosial dapat mendorong atau merancang program sosial, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagai supervisor, pekerja sosial dapat meningkatkan kinerja pelayanan lembaga sosial melalui supervise yang dilakukan terhadap staf-stafnya. Sedangkan, dalam konteks coordinator, pekerja sosial dapat meningkatkan system pelayanan, dengan meningkatkan komunikasi dan koordinasi antara sumber-sumber pelayanan kemanusiaan. Memandu lembaga sosial dalam meningkatkan kualitas pelayanan dapat diperankan oleh pekerja sosial sebagai konsultan.
4.      Mendorong terciptanya keadilan sosial melalui pengembangan kebijakan sosial yang berpihak. Disinilah pekerjaan sosial memiliki kaitan yang sangat erat dengan kesejahteraan sosial maupun dengan kebijakan sosial. Yang pertama sebagai tujuan akhirnya sedang kedua sebagai salah satu alat untuk mencapainya. Keduanya berada dalam wilayah kajian pekerjaan sosial. Pekerja sosial dapat berperan sebagai perencana (planner) atau pengembang kebijakan (policy developer).
5.      Memberdayakan kelompok-kelompok rentan dan mendorong kesejahteraan sosial maupun ekonomi. Kelompok rentan yang dimaksud seperti orang lanjut usia, kaum perempuan, gay, lesbian, orang yang cacat fisik maupun mental, pengidap HIV/AIDS (ODHA), dan kelompok marjinal lainnya. Lazimnya, kelompok masyarakat seperti ini sangat rentan terhadap pengabaian hak-haknya, sehingga perlu dilindungi agar memperoleh hah-haknya secara memadai. Selain hak-hak keadilan dan kesejahteraan sosial diperlukan juga upaya untuk memberikan perlindungan kepada mereka untuk memperoleh hak-hak keadilan secara ekonomi. Misalnya, peluang untuk memperoleh pekerjaan atau pelayanan kesehatan. Sebab tidak jarang kelompok rentan seperti ini kurang mendapat perhatian dalam hak-haknya secara ekonomi.
6.      Mengembangkan dan melakukan uji keterampilan atau pengetahuan professional. Pekerjaan sosial diharapkan memiliki dasar-dasar keterampilan dan pengetahuan yang mencukupi dalam praktiknya. Sehingga perlu ada upaya pengembangan maupun uji kelayakan terhadap pekerja sosial sendiri. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar praktik pekerjaan sosial yang dilakukan tidak menyimpang, dan sesuai dengan norma dan etika yang berlaku dalam masyarakat.

Faktor-faktor menjadi pengemis
Fenomena pengemis yang menjadi bagian dari fakta sosial kehidupan kita tidak lantas dari faktor-faktor yang melatar belakangiseseorang tersebut mengemis atau meminta-minta dihadapan calon dermawannya. Banyak yang menyatakan faktor ekonomilah yang menjadi faktor utama mengemis, namun sebenarnya tidak hanya itu. Karena pengemis memiliki tujuannya masing-masing yang dipengaruhi oleh mental, akal pikiran dari pengemis terkait.
Secara lebih rinci, dalam prakteknya ada lima jenis pengemis yang disebabkan karena keterbatasan aset dan sumber ekonomi, rendahnya mutu mental seperti rasa malu dan spirit mandiri yang kurang. Dan faktor-faktor yang menjadi penyebabnya mengemis, diantaranya sebagai berikut :
1.      Mengemis karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali, Mengemis dikarenakan tidak berdaya baik dari segi materi, karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain.
2.      Mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan, Mulanya mengemis karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil mengemis tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan. Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat.
3.      Mengemis musiman, Misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul fitri, dan tahun baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah mengumpulkan uang sejumlah tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan status dari pengemis temporer menjadi pengemis permanen.
4.      Mengemis karena miskin mental, Mereka ini tidak tergolong miskin sepenuhnya. Kondisi fisik termasuk pakaiannya relatif prima. Namun ketika mengemis, posturnya berubah 180 derajat; apakah dilihat dari kondisi luka artifisial atau baju yang kumel. Maksudnya agar membangun rasa belas kasihan orang lain. Pengemis seperti ini tergolong individu yang sangat malas bekerja. Dan potensial untuk menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan profesinya.
5.      Mengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat, Sudah semacam organisasi tanpa bentuk. Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis “anggota” setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya kepada sindikat. Bisa dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis dianggap sudah menjadi “profesi”. Ada semacam pewilayahan operasi dengan anggota-anggota tersendiri.
Adapun menurut Artidjo Alkostar dalam karya ilmiah Herawady, menyembutkan beberapa hal yang menjadi faktor timbulnya gelandangan dan pengemis, yaitu :
a. Faktor Intern :
1. Sifat Malas
2. Faktor Fisik
3. Faktor Psikis atau Kejiwaan
4. Mental yang tidak kuat
b. Faktor Eksternal
1. Faktor Ekonomi
2. Faktor Geografi
3. Faktor Sosial
4. Faktor Pendidikan
5. Faktor Psikologis
6. Faktor Kultural
7. Faktor Keluarga dan Mental, dan
8. Kurangya dasar-dasar agama. (Herawady, 2002:11-13)


BAB V
PENUTUP

Realitas kehidupan sosial tidak luput dengan prilaku dan pola dari masyarakat itu sendiri. Salah satunya adalah pengemis atau sebagian orang menyebutnya dengan “Gepeng”
Menjadi pengemis bukanlah suatu pilihan dalam menjalani hidup, namun keberadaannya bukanlah lahir dengan sendirinya. Melainkan faktor-faktor yang mendukung seseorang tersebut melakukan hal tersebut.
Adapun menurut Hanitijo Soemitro dalam karya ilmiah Asmawi, pengemis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
1.Pengemis Murni, Ialah mereka yang mempunyai tempat tinggal tertentu maupun tidak, yang penghidupan seluruhnya atas dasar meminta-minta pada waktu tertentu.
2.Pengemis Tidak Murni, Ialah mereka yang mempunyai tempat tinggal yang sebagian penghasilannya diperoleh dari meminta-minta pada waktu tertentu. (Asmawi, 2003:15)

Dan faktor-faktor yang menjadi penyebabnya mengemis, diantaranya sebagai berikut :
1.      Mengemis karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali, Mengemis dikarenakan tidak berdaya baik dari segi materi, karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain.
2.      Mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan, Mulanya mengemis karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil mengemis tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan. Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Ø  Isbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994).
Ø  Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009).
Ø  Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Ø  Isbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 11
Ø  Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal. 25
Ø  Ibid, hal. 12
Ø  Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 4
Ø  Ibid, h. 15-17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar