DESKRIPTIF TENTANG
GELANDANG DAN PENGEMIS
DI DINAS SOSIAL
KABUPATEN SIDOARJO
Oleh :
Pawestri Nur Hapsari (112020100008)
Mhs. Jurusan Administrasi Negara - FISIP
(Pagi), Umsida
Dosen Pengampuh : Drs. Hadi Ismanto, M.Si.
PROGRAM STUDI ILMU
ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN
ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SIDOARJO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.A. Latar Belakang
Sampai saat ini, Indonesia masih tergolong
Negara yang sedang maju dan belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan.
Dari beberapa banyak masalah sosial yang ada sampai saat ini, gelandangan dan
pengemis adalah masalah yang perlu harus di perhatikan lebih dari pemerintah,
karena saat ini masalah tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan kota-kota besar,
terutama seperti Kabupaten Sidoarjo.
Berdasarkan data
statistik pemerintahan Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa sekitar 4,2 juta
KK penduduk Jawa Timur, hidup dibawah garis kemiskinan. Dengan demikian
diperkirakan sekitar 15 juta orang atau 35 % penduduk Jawa Timur, dikategorikan
sebagai penduduk miskin. Sementara ada sekitar 400 orang gelandangan dan pengemis
(gepeng) di Dinas Sosial Sidoarjo. Keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng)
di kabupaten Sidoarjo saat ini semakin banyak dan sulit diatur, Mereka dapat
ditemui diberbagai pertigaan, perempatan, lampu merah dan tempat umum, bahkan
di kawasan pemukiman, sebagian besar dari mereka menjadikan mengemis sebagai
profesi. Hal ini tentu sangat mengganggu pemandangan dan meresahkan masyarakat.
Penyebab dari semua itu antara lain adalah jumlah pertumbuhan penduduk yang
tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang memadai dan kesempatan kerja
yang tidak selalu sama. Disamping itu menyempitnya lahan pertanian di desa
karena banyak digunakan untuk pembangunan pemukiman dan perusahaan atau pabrik.
Keadaan ini mendorong penduduk desa untuk berurbanisasi dengan maksud untuk
merubah nasib, tapi sayangnya, mereka tidak membekali diri dengan pendidikan
dan keterampilan yang memadai. Sehingga keadaan ini akan menambah tenaga yang
tidak produktif dikota. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka
bekerja apa saja asalkan mendapatkan uang termasuk meminta-minta (mengemis).
Demi untuk menekan biaya pengeluaran, mereka memanfaatkan kolong jembatan, stasiun
kereta api, emperan toko, pemukiman kumuh dan lain sebagainya untuk
beristirahat, mereka tinggal tanpa memperdulikan norma sosial. Hidup
bergelandangan tidak memungkinkan orang hidup berkeluarga, tidak memiliki
kebebasan pribadi, tidak memberi perlindungan terhadap hawa panas ataupun hujan
dan hawa dingin, hidup bergelandangan akan dianggap hidup yang paling hina
diperkotaan. Keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) di perkotaan
sangat meresahkan masyarakat, selain mengganggu aktifitas masyarakat di jalan
raya, mereka juga merusak keindahan kota. Dan tidak sedikit kasus kriminal yang
dilakukan oleh mereka, seperti mencopet bahkan mencuri dan lain-lain.
Oleh sebab itulah, apabila masalah
gelandangan dan pengemis tidak segera mendapatkan penanganan, maka dampaknya
akan merugikan diri sendiri, keluarga, masyarakat serta lingkungan sekitarnya.
Untuk mengatasi masalah gelandangan dan
pengemis (gepeng), pemerintah mengutus Polisi Pamong Praja Satpol PP untuk
merazia semua gelandangan dan pengemis (gepeng) yang ada diseluruh sudut kota
Sidoarjo, untuk kemudian dijaring dan diberikan pengarahan. Hal ini
bertujuan untuk membersihkan kota dari gelandangan dan pengemis, serta berupaya
untuk memberikan penyadaran kepada mereka.
1.B. Rumusan Masalah
Dari yang saya ceritakan diatas, maka saya
membuat beberapa rumusan masalah yang menjadi obyek pembahasan dalam tugas ini,
yaitu :
1. Bagaimana proses penanganan gelandangan dan pengemis (Gepeng) yang dilakukan
oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi pendorong dan penghambat penanganan
gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo?
1.C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas
maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui proses penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh
Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo.
2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat proses penanganan
gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo.
3. Untuk mengetahui relevansi penanganan gelandangan dan pengemis
(gepeng) oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo.
1.D. Manfaat Penelitian
Merujuk
pada tujuan penelitian diatas, maka manfaat penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.
Bagi Pemerintah
Kota Sidoarjo sebagai masukan untuk lebih dalam menangani gelandang dan pengemis di sidoarjo.
2.
Bagi
peneliti yang lain agar dapat digunakan dalam melanjutkan penelitian tentang
Deskriptif gelandang dan pengemis
3.
Bagi
penulis, peneliti ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang
diperoleh selama perkuliahan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kerangka Dasar Teori
Realitas kehidupan sosial tidak luput dengan prilaku
dan pola dari masyarakat itu sendiri. Salah satunya adalah pengemis atau
sebagian orang menyebutnya dengan “Gepeng” Gelandangan dan Pengemis, potret
sosial ini sering ditemukan dalam kehidupan. Adapun pengertian pengemis menurut
Perpu No. 30 Tahun 1980 yang
dikutip dalam buku Engkus Kuswarno, menyatakan :
“Orang-orang yang mendapatkan
penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan
untuk mengharapkan belas kasihan orang lain”.
Berbeda dengan istilah pengemis
dalamhandout nya yang diartikan oleh Dinas Sosial adalah PMKS
(Penyandang masalah kesejahteraan sosial).
“Pengemis adalah orang-orang yang
mendapatkan penghasilan dengan minta-minta di tempat umum dengan berbagai cara
dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang”
Dari pengertian diatas, selanjutnya
bisa dilihat dari kelompok-kelompok pengemis yang membedakan satu sama lain
diantara pengemis yang ada.
Kelompok
Pengemis
Dalam hal ini pengemis pun memiliki
kelompok-kelompok yang membedakan motif-motif pengemis satu sama lain,
Menurut Sudarianto dalam catatan online nya
dimana pengemis dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok pengemis, antara lain :
1.Mengemis karena tak mampu bekerja, Pada kategori ini
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kelainan fisik pada anggota tubuhnya.
Misalnya tak mampu bekerja karena tidak memiliki tangan, kaki, lumpuh, buta dan
lain-lain
2.Mengemis
karena malas bekerja, Pengemis karena malas bekerja inilah yang menyebabkan
jumlah pegemis di Indonesia sangat banyak. Pengemis pada kategori ini, orangnya
mempunyai anggota tubuh yang sangat lengkap namun dihinggapi penyakit malas.
Pengemis semacam inilah yang harus diberantas oleh pemerintah.
3.Mengemis
karena menginginkan jabatan,Pengemis semacam inilah yang merusak atau
menghambat pembangunan di Indonesia. Mereka yang tergolong pada kelompok ini
mengemis pada atasannya dengan berbagai cara untuk memperoleh job atau
jabatan. Ada yang selalu bersilaturrahmi ke rumah atasannya, ada yang selalu
memberikan hadiah kepada atasannya, ada juga yang gila hormat kepada atasannya,
dan lain sebagainya.
Adapun menurut Hanitijo Soemitro dalam karya ilmiah Asmawi, pengemis
dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
1.Pengemis
Murni, Ialah mereka yang mempunyai tempat tinggal tertentu maupun tidak, yang
penghidupan seluruhnya atas dasar meminta-minta pada waktu tertentu.
2.Pengemis
Tidak Murni, Ialah mereka yang mempunyai tempat tinggal yang sebagian
penghasilannya diperoleh dari meminta-minta pada waktu tertentu. (Asmawi,
2003:15)
Fakta sosial
yang satu ini merupakan akibat dari sebabnya seseorang melakukan suatu
tindakan, namun penyebab tersebut bisa mengkategorikan hal ini.
Konseptualisasi Penelitian
Agar penelitian ini terarah sesuai
dengan permasalahan dan tujuan yang diterapkan, maka perlu terlebih dahulu
disusun konsep pemikiran dalam melaksanakan penelitian ini. Penelitian ini
menganalisis tentang banyaknya jumlah gelandang dan pengemis di Dinas Sosial
Kabupaten Sidoarjo dimana sasaran akhir dari program adalah meningkatkan
partisipasi dari orang lain yang mau mengeluarkan dana untuk membantu biaya
hidup mereka.
Dalam Konsep penelitian tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Variabel Bebas/Independen/yg mempengaruhi (variabel X) :
-
Deskriptif tentang gelandang dan pengemis
Variabel Tidak Bebas/Dependen/yg dipengaruhi (variabel Y)
-
Di Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo
Hipotesis
Penelitian ini menggunakan hipotesis
asosiatif yakni hipotesis yang terdiri dari hipotesis dua arah yaitu
Hipotesis kerja yang menegaskan variabel (Hi) dan hipotesis nihil yang
menegasikan variabel (Ho)
Hi : Apa saja
faktor yang mempengaruhi pendorong dan penghambat penanganan gelandangan dan
pengemis (gepeng) oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo?
Ho : Tidak ada faktor yang
mempengaruhi pendorong dan penghambat penanganan gelandangan dan pengemis
(gepeng) oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo
BAB III
METODE PENELITIAN
·
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif karena mencari data berupa angka atau dalam bentuk kuantitas, mencari data
sesuai dengan konsep yang sudah ada dan Penelitian dapat dilakukan oleh orang lain (field
works)
·
Subyek Penelitian
Subyek yang dimaksud dalam penelitian ini adalah para informan yang
ditentukan peneliti berdasarkan teknik purposive, yaitu Penentuan sampel
dilakukan dengan tujuan untuk memilih informan yang dianggap mengetahui
informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk mencari
sumber data yang mantap dan lengkap.
·
Lokasi
Lokasi penelitian ini adalah Dinas
Sosial Kabupaten Sidoarjo, Jl. Pahlawan No.8 – Sidoarjo.
·
Jenis Data
Data sekunder, yakni sumber
data yang diperoleh dari bahan bacaan atau referensi yang menunjang dalam
penelitian ini. Data sekunder ini berupa buku – buku, foto, dokumentasi
program, serta jurnal-jurnal yang berhubungan dengan Dinas Sosial Kabupaten
Sidoarjo.
·
Populasi dan Teknik Sampling Penelitian
Populasi Penelitian
Populasi
adalah jumlah keseluruhan analisa yang hendak digeneralisasikan oleh seorang
peneliti (Sutrisno Hadi, 1993:70). Populasi penelitian ini adalah seluruh
jumlah gelandang dan pengemis di Kabupaten Sidoarjo yakni berjumlah 400.
Teknik Sampling Penelitian
Sampel
adalah sebagian dari populasi/populasi dari unit analisis maupun area, yang
dianggap mewakili populasi secara keseluruhan. Tidak ada ukuran pasti tentang
besaran sampel yang dianggap mewakili populasi namun perlu diperhatikan tingkat
heterogenitas populasi dan kepentingan unit analisis statistik.
1. Unit
Analisis, merupakan unit yang akan diteliti/dianalisa dalam melakukan sebuah
penelitian. Seringkali unit penelitian sama dengan unsur sampling yang akan
diteliti. Dalam penelitian ini unit analisisnya adalah para gelandang dan
pengemis di Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo
2. Sampling
Frame, merupakan seluruh daftar nama individu/organisasi yang menjadi unit
analisis dalam penelitian ini yaitu nama gelandang dan pengemis yang menjadi
sampel penelitian.
3. Sampling
Fraction, merupakan pemecahan unsur sebagian sampel menjadi lebih kecil,
sehingga masing-masing bagian diwakili oleh beberapa orang. Pemecahan dilakukan
untuk mempermudah dalam menentukan ukuran sampel yang akan diambil untuk
penelitian.
·
Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Kuesioner, yaitu
teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan membagikan daftar pertanyaan
kepada responden untuk dijawab dengan cermat dan teliti. Inilah yang dijadikan
sebagai instrumen penelitian.
2. Wawancara, yaitu
teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tanya jawab langsung dari
responden.
3. Observasi, yaitu
teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan
langsung terhadap obyek penelitian.
·
Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul dan diolah, kemudian dianalisis dalam rangka proses
pengujian hipotesis yang telah dirumuskan. Analisa data dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut :
1. Analisa
Data Kuantitatif, yaitu analisis data yang berjumlah besar dan sudah
diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, hal ini dilakukan guna mengetahui
kecenderungan antara variabel yang diteliti.
2. Analisa
Data Kualitatif, yaitu teknik telaah untuk menyimpulkan data yang bersifat
kualitatif, dipergunakan untuk data-data yang sulit diukur dengan angka, yaitu
apabila data yang dikumpulkan sedikit, hanya berupa kasus-kasus sehingga dengan
analisis tersebut dapat memberikan penafsiran yang baik.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berikut ini adalah data jumlah penyandang
masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang berada di Dinas Sosial Kabupaten
Sidoarjo tahun 2012 :
Penderita
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
Gepeng
|
100
|
62
|
162
|
Lansia
|
4
|
11
|
15
|
Anjal
|
20
|
-
|
20
|
Psikotik
|
90
|
65
|
155
|
WTS/waria
|
20
|
28
|
48
|
Jumlah
|
234
|
166
|
400
|
Pengertian Pekerjaan
Sosial (Sosial Worker)
Pekerjaan sosial sebagai profesi masih
dapat dikatakan sebagai profesi yang baru muncul pada awal abad ke-20, meskipun
demikian, ia mempunyai akar sejak timbulnya revolusi industri. Berbeda dengan
profesi lain yang mengembangkan spesialisasi untuk mencapai kematangannya, maka
pekerjaan sosial lebih berusaha untuk menyatukan berbagai bidang ilmu ataupun
spesialisasi dari berbagai lapangan praktek.
Menurut International
Federation Of Social Worker (ISFM), pekerjaan sosial (social worker)
adalah sebuah profesi yang mendorong perubahan sosial, memecahkan masalah dalam
kaitannya dengan relasi kemanusiaan, memberdayakan, dan membebaskan masyarakat
untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Pekerjaan sosial adalah aktivitas
professional, untuk menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam
meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan
menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan
tersebut.
Menurut Thelma Lee
Mendoza, pekerjaan sosial merupakan profesi yang memperhatikan penyesuaian
antara individu dengan lingkungannya, dan individu (kelompok) dalam hubungan
dengan situasi (kondisi) sosialnya. Pandangan ini mengacu pada konsep “fungsi
sosial” yang terkait dengan kinerja (performance) dari berbagai peranan
sosial yang ada pada masyarakat.
Menurut Leonora Scrafica-deGuzman
Pekerjaan sosial adalah profesi yang bidang utamanya berkecimpung dalam
kegiatan pelayanan sosial yang terorganisasi, dimana tujuannya untuk
memfasilitasi dan memperkuat relasi dalam penyesuaian diri secara timbal balik
dan saling menguntungkan antar individu dengan lingkungan sosialnya, melalui
penggunaan metode-metode sosial.
Tan dan Envall
mendefinisikan Pekerjaan sosial sebagai berikut “profesi pekerjaan sosial
mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan, perubahan
sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta perbaikan masyarakat.
Menggunakan teori-teori perilaku manusia dan sistem-sistem sosial, pekerjaan
sosial melakukan intervensi pada titik (atau situasi) dimana orang berinteraksi
dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak azasi manusia dan keadilan sosial
sangat penting bagi pekerjaan sosial.
Dari pandangan di atas,
permaslahan dalam bidang pekerjaan sosial, erat kaitannya dengan masalah fungsi
sosial (social functioning), yaitu kemampuan seseorang untuk menjalankan
peranannya sesuai tuntutan lingkungannya. Oleh karena itu usaha-usaha untuk
memberikan pelayanan sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung, juga
diarahkan untuk membantu individu, kelompok ataupun masyarakat dalam
menjalankan fungsi sosialnya. Menurut Thelma Lee Mendoza, secara umum, ada
beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan fungsi
sosialnya :
1. Personal inadequancies or sometimes phatologies which may make it difficult
for man to cope with the demands of his environment. (ketidakmampuan individu atau kadangkala patologiyang membuat seseorang
sulit untuk memenuhi tuntutan lingkungannya).
2. Situational inadequancies and other conditions which are beyond man’s
coping capacities,and. (ketidakmampuan situasional (lingkungan)
dan kondisi lainnya yang berada dibawah kemampuan individu untuk menyesuaikan
diri).
3. Both personal and situasional inadequacies. (ketidakmampuan/ ketidaklengkapan dari kedua faktor personal dan
situasional).
Dan untuk mengatasi masalah-masalah dalam
fungsi sosial, maka intervensi yang dapat dilakukan adalah :
1. Intervention primarily through person, which involves activities aimed at
increasing man’s capacities to cope with or adjust to his reality situation
(such as by changing his attitudes and teaching him skills). (intervensi yang utama dilakukan melalui individu, dimana melibatkan
kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada peningkatan kemampuan seseorang untuk
menyesuaikan diri dengan situasi realitanya (seperti melalui perubahan sikap
dan mengajarkan keterampilan pada orang tersebut).
2. Intervention primarily through his situation which involves activities
aimed at modifying the nature of the reality itself so as to bring it within
the range of man’s functional capacities (such as by minimizing or preventing
the causes of stress, by providing necessary services and facilities). (intervensi yang utama dilakukan melalui situasi lingkungannya, dimana
meliputi kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada pemodifikasian sifat-sifat
dasarndan realita itu sendiri agar dapat masuk kedalam rentangan kemampuan
berfungsi orang tersebut(seperti melalui peminimalisiran atau pencegahan
penyebab timbulnya stress, melalui penyediaan pelayanan dan fasilitas yang
diperlukan).
3. Intervention through both the person and his situation. (intervensi yang dilakukan melalui individu dan juga melalui situasi
lingkungannya). Sebagai aktivitas pertolongan (helping profession),
pekerjaan sosial bermaksud untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi pada
individu, keluarga, kelompok, ataupun masyarakat. Layaknya dokter atau guru,
sebagai aktivitas yang professional, pekerjaan sosial didasari atas tiga
kompetensi penting, yakni kerangka pengetahuan (body of knowledge),
kerangka keahlian ( body of skill), dan kerangka nilai (body of
value). Secara integratif, ketiganya menjadi dasar penting dalam praktik
ilmu pekerjaan sosial.
Dari definisi diatas,
dapat dilihat bahwa pekerjaan sosial adalah disiplin ilmu yang berkepentingan
untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, yang dihadapi umat manusia,
artinya, secara operasional pekerjaan sosial pada dasarnya sangat dekat dengan
kehidupan setiap masyarakat. Walaupun demikian, perlu diakui bahwa secara
definitive, pekerjaan sosial relative kurang dikenal dalam masyarakat
Indonesia. Bila dilihat secara definitif, pengertian pekerjaan sosial yang
dikemukakan oleh United States Council on Social Work Education.
Lebih melihat pekerjaan sosial sebagai profesi yang banyak berfokus pada fungsi
sosial individu, ataupun kelompok, terutama dalam kaitan dengan relasi sosial
yang membentuk interaksi antara manusia dengan lingkungannya, aktivitas ini
menurut Skidmore, dapat dikelompokkan kedalam tiga fungsi:
1. Perbaikan (restorasi), kapasitas yang dimiliki klien (fungsi rehabilitative
dan kuratif). Aspek kuratif dalam pekerjaan sosial berusaha mengurangi atau
menghilangkan faktor-faktor yang menjadi penyebab kurang berfungsinya
seseorang. Aspek rehabilitative dalam pekerjaan sosial mencoba membina kembali
pola-pola interaksi.
2. Penyediaan sumber daya individu atau masyarakat (fungsi developmental),
fungsi developmebtal ini bertujuan untuk memanfaatkan secara maksimum kemampuan
dan potensi agar interaksi sosialnya lebih efektif.
3. Pencegahan disfungsi sosial (fingsi preventif). Fungsi ini melibatkan
penemuan, pengawasan, dan menghilangkan atau mengurangi kondisi atau situasi
yang mempunyai potensi untuk merusak fungsi sosial seseorang.
Tujuan Pekerjaan Sosial
Sebagaimana yang telah
ditegaskan oleh The National Assosiation Of Social Workers (NASW),
pekerjaan sosial mempunyai empat tujuan utama, akan tetapi The Council
on Social Work Education menambah dua tujuan pekerjaan sosial,
sehingga menjadi enam poin penting, antara lain :
1. Meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya,
menanggulangi dan secara efektif dapat menjalankan fungsi sosialnya. Seseorang
yang sedang mengalami masalah, sering kali tidak memilikikesadaran bahwa
dirinya memiliki kemampuan untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Pekerja
sosial berperan dalam mengidentifikasi kekuatan klien dan mendorongnya untuk
dapat melakukan perubahan pada kehidupannya.kesadaran tentang kekuatan yang ada
pada diri klien inilah yang menimbulkan suatu nilai terkenal yang dijunjung
tinggi dalam pekerjaan sosial, yakni self determination (keputusan
oleh diri sendiri). Pekerja sosial dalam konteks ini dapat berperan sebagai
konselor, pendidik, penyedia layanan, atau perubah perilaku.
2. Menghubungkan klien dengan jaringan sumber yang dibutuhkan. Ibarat
memancing, dalam konteks memberdayakan masyarakat, jika dulu cukup memberikan
kailnya saja. Dengan memberikan pelatihan skill tertentu (misalnya
kewirausahaan) kepada rakyat miskin, mungkin sudah cukup menyelesaikan problem
kemiskinan. Namun, kail saja kini rasanya tidak cukup. Sebab, bagaimana mungkin
bisa memancing padahal “kolam” nya saja sudah tidak tersedia, atau klien merasa
kebingungan di “kolam” mana mungkin dia akan melemparkan kailnya. Dalam hal ini
pekerjaan sosial berfungsi strategis dalam advokasi sosial maupun menghubungkan
klien kepada jaringan-jaringan sumber yang dibutuhkan seorang klien, untuk
dapat berkembang dan mencapai tujuan kehidupannya. Menjadi broker atau pialang
sosial adalah suatu peran strategis, yang dapat dimainkan oleh pekerja sosial
untuk mencapai tujuan ini.
3. Meningkatkan kinerja lembaga-lembaga sosial dalam pelayanannya, agar
berjalan secara efektif. Pekerja sosial berperan dalam menjamin agar
lembaga-lembaga sosial dapat memberikan pelayanan terhadap klien secara merata
dan efektif. Langkah ini dilakukan karena lembaga-lembaga sosial dianggap
sebagai salah satu peranti untuk mencapai tujuan-tujuan dari disiplin ilmu
pekerjaan sosial. Peran-peran yang dapat dilakukan pekerja sosial antara lain,
pengembang program, supervisor, koordinator ataupun konsultan. Sebagai
pengenbang program, pekerja sosial dapat mendorong atau merancang program
sosial, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagai supervisor, pekerja sosial
dapat meningkatkan kinerja pelayanan lembaga sosial melalui supervise yang
dilakukan terhadap staf-stafnya. Sedangkan, dalam konteks coordinator, pekerja
sosial dapat meningkatkan system pelayanan, dengan meningkatkan komunikasi dan
koordinasi antara sumber-sumber pelayanan kemanusiaan. Memandu lembaga sosial
dalam meningkatkan kualitas pelayanan dapat diperankan oleh pekerja sosial
sebagai konsultan.
4. Mendorong terciptanya keadilan sosial melalui pengembangan kebijakan sosial
yang berpihak. Disinilah pekerjaan sosial memiliki kaitan yang sangat erat
dengan kesejahteraan sosial maupun dengan kebijakan sosial. Yang pertama
sebagai tujuan akhirnya sedang kedua sebagai salah satu alat untuk mencapainya.
Keduanya berada dalam wilayah kajian pekerjaan sosial. Pekerja sosial dapat
berperan sebagai perencana (planner) atau pengembang kebijakan (policy
developer).
5. Memberdayakan kelompok-kelompok rentan dan mendorong kesejahteraan sosial
maupun ekonomi. Kelompok rentan yang dimaksud seperti orang lanjut usia, kaum
perempuan, gay, lesbian, orang yang cacat fisik maupun mental, pengidap
HIV/AIDS (ODHA), dan kelompok marjinal lainnya. Lazimnya, kelompok masyarakat
seperti ini sangat rentan terhadap pengabaian hak-haknya, sehingga perlu
dilindungi agar memperoleh hah-haknya secara memadai. Selain hak-hak keadilan
dan kesejahteraan sosial diperlukan juga upaya untuk memberikan perlindungan
kepada mereka untuk memperoleh hak-hak keadilan secara ekonomi. Misalnya,
peluang untuk memperoleh pekerjaan atau pelayanan kesehatan. Sebab tidak jarang
kelompok rentan seperti ini kurang mendapat perhatian dalam hak-haknya secara
ekonomi.
6. Mengembangkan dan melakukan uji keterampilan atau pengetahuan professional.
Pekerjaan sosial diharapkan memiliki dasar-dasar keterampilan dan pengetahuan
yang mencukupi dalam praktiknya. Sehingga perlu ada upaya pengembangan maupun
uji kelayakan terhadap pekerja sosial sendiri. Hal ini dilakukan dengan tujuan
agar praktik pekerjaan sosial yang dilakukan tidak menyimpang, dan sesuai
dengan norma dan etika yang berlaku dalam masyarakat.
Faktor-faktor menjadi pengemis
Fenomena pengemis yang menjadi
bagian dari fakta sosial kehidupan kita tidak lantas dari faktor-faktor yang
melatar belakangiseseorang tersebut mengemis atau meminta-minta dihadapan calon
dermawannya. Banyak yang menyatakan faktor ekonomilah yang menjadi faktor utama
mengemis, namun sebenarnya tidak hanya itu. Karena pengemis memiliki tujuannya
masing-masing yang dipengaruhi oleh mental, akal pikiran dari pengemis terkait.
Secara lebih rinci, dalam prakteknya
ada lima jenis pengemis yang disebabkan karena keterbatasan aset dan sumber
ekonomi, rendahnya mutu mental seperti rasa malu dan spirit mandiri yang
kurang. Dan faktor-faktor yang menjadi penyebabnya mengemis, diantaranya
sebagai berikut :
1. Mengemis
karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali, Mengemis dikarenakan tidak
berdaya baik dari segi materi, karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak
punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut usia miskin yang sudah
tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada
pilihan lain.
2. Mengemis
seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan, Mulanya mengemis karena
unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah
memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil mengemis
tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan mengemis karena tidak memiliki
aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe pengemis ini tidak berlaku lagi.
Sang pengemis sudah merasa keenakan. Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di
depan masyarakat.
3. Mengemis
musiman, Misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul fitri, dan tahun
baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah mengumpulkan uang sejumlah
tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan status dari
pengemis temporer menjadi pengemis permanen.
4. Mengemis
karena miskin mental, Mereka ini tidak tergolong miskin sepenuhnya. Kondisi
fisik termasuk pakaiannya relatif prima. Namun ketika mengemis, posturnya
berubah 180 derajat; apakah dilihat dari kondisi luka artifisial atau baju yang
kumel. Maksudnya agar membangun rasa belas kasihan orang lain. Pengemis seperti
ini tergolong individu yang sangat malas bekerja. Dan potensial untuk
menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan profesinya.
5. Mengemis
yang terkoordinasi dalam suatu sindikat, Sudah semacam organisasi tanpa bentuk.
Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis
“anggota” setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya kepada sindikat. Bisa
dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis dianggap sudah menjadi “profesi”.
Ada semacam pewilayahan operasi dengan anggota-anggota tersendiri.
Adapun menurut Artidjo
Alkostar dalam karya ilmiah Herawady, menyembutkan beberapa hal yang
menjadi faktor timbulnya gelandangan dan pengemis, yaitu :
a. Faktor
Intern :
1. Sifat
Malas
2. Faktor
Fisik
3. Faktor
Psikis atau Kejiwaan
4. Mental
yang tidak kuat
b. Faktor
Eksternal
1. Faktor
Ekonomi
2. Faktor
Geografi
3. Faktor
Sosial
4. Faktor
Pendidikan
5. Faktor
Psikologis
6. Faktor
Kultural
7. Faktor
Keluarga dan Mental, dan
8. Kurangya dasar-dasar agama. (Herawady, 2002:11-13)
BAB V
PENUTUP
Realitas kehidupan sosial tidak luput dengan prilaku
dan pola dari masyarakat itu sendiri. Salah satunya adalah pengemis atau
sebagian orang menyebutnya dengan “Gepeng”
Menjadi pengemis bukanlah suatu pilihan dalam
menjalani hidup, namun keberadaannya bukanlah lahir dengan sendirinya.
Melainkan faktor-faktor yang mendukung seseorang tersebut melakukan hal
tersebut.
Adapun menurut Hanitijo Soemitro dalam karya ilmiah Asmawi, pengemis
dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
1.Pengemis
Murni, Ialah mereka yang mempunyai tempat tinggal tertentu maupun tidak, yang
penghidupan seluruhnya atas dasar meminta-minta pada waktu tertentu.
2.Pengemis
Tidak Murni, Ialah mereka yang mempunyai tempat tinggal yang sebagian
penghasilannya diperoleh dari meminta-minta pada waktu tertentu. (Asmawi,
2003:15)
Dan faktor-faktor yang menjadi penyebabnya mengemis,
diantaranya sebagai berikut :
1. Mengemis
karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali, Mengemis dikarenakan tidak
berdaya baik dari segi materi, karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak
punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut usia miskin yang sudah
tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada
pilihan lain.
2. Mengemis
seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan, Mulanya mengemis karena
unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah
memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil mengemis
tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan mengemis karena tidak memiliki
aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe pengemis ini tidak berlaku lagi.
Sang pengemis sudah merasa keenakan. Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di
depan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Isbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994).
Ø
Edi Suharto, Membangun Masyarakat,
Memberdayakan Rakyat, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009).
Ø
Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial dan
Kesejahteraan Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Ø Isbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 11
Ø
Edi Suharto, Membangun Masyarakat,
Memberdayakan Rakyat, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal. 25
Ø
Ibid, hal. 12
Ø
Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial dan
Kesejahteraan Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 4
Ø
Ibid, h. 15-17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar